BAB I
A.Pendahuluan
Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau pengikut. Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama resmi. Penganut di luar lima agama resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi versi pemerintah. Namun ternyata masalah belum selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian terhadap kehidupan keberagama di Indonesia sangat besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis, umumnya mempunyai sikap berseberangan dengan praktek keagamaan demikian. Lagi pula pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran.
Berbagai cara telah dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif. Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desa-desa. Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka upacara-upacara adat yang nota bene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah. Upacara-upacara agama suku yang selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kota pun menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di kota-kota pun sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang " fanatik" dari salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama bersangkutan. Bertolak dari realitas demikian, maka muncul banyak pertanyaan yang menarik untuk dikaji. Apakah yang menjadi penyebab semua itu? Apakah semata-mata karena perpindahan mereka adalah karena keterpaksaan yang tidak diikuti dengan pembinaan yang memadai? Atau ada faktor lain yang menjadi penyebabnya? Masalahnya ialah sebab banyak di antara mereka yang masih melakukan praktek-praktek agama suku sudah tidak mengalami perpindahan dari agama suku tetapi sejak lahir berada dalam lingkungan agama yang dianutnya. Lalu dapatkah kenyataan seperti itu disebut sebagai hasil dari upaya kontekstualisasi ataukah justru merupakan sinkretisme? Tidaklah mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Karena itu, tulisan ini berupaya menyajikan salah satu aspek dalam agama suku, yakni ibadah. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi pendorong untuk mengadakan studi yang lebih mendalam tentang ibadah dalam agama suku, tetapi sekaligus diharapkan menjadi sumbangan sederhana bagi upaya kontekstualisasi dalam kehidupan beragama.
Latar Belakang Agama Suku
Sesudah abad ke-17, bangsa Barat banyak mengadakan perjalanan atau pelayaran untuk menemukan dunia baru. Mereka banyak bertemu dengan orang-orang yang tidak beragama Kristen, umpamanya bangsa-bangsa di India, di kepulauan Pasifik, di Afrika, dan sebagainya. Mereka mulai tertarik dengan yang bermacam-macam itu. Demikianlah pada abad ke-18, orang sudah mulai menulis tentang agama suku.
C. de Brosses adalah orang pertama yang berhasil memasukkan pengetahuan tentang agama suku ke dalam perhatian ilmu pengetauan modern. Sejak saat itu bermunculan para ahli yang tertarik dengan agama suku. Kemudian, timbul bermacam-macam teori yang silih berganti menerangkan gejala-gejala agama suku, diantaranya sebagai berikut:
a. Fitisisme: berasal dari kata Latin factiticus, yang berarti dibuat dengan tangan. Fetisisme adalah pemujaan benda-benda (buatan tangan) yang diisi dengan kekuatan gaib
b. Animisme: berasal dari kata Latin animus, yang berarti jiwa. Menurut Taylor, animisme adalah suatu kepercayaan mengenai adanya roh-roh dan makhluk-makhluk halus yang mendiami seluruh alam semesta ini.
C. Dinamisme: Pada taraf ini orang percaya pada kuasa-kuasa yang tidak berpribadi dan tak kelihatan. Kuasa-kuasa tersebut mempengaruhi manusia secara mekanis di mana manusia dipengaruhi tanpa kemauan sendiri.
BAB II A. Konsep dan Sikap terhadap Yang Ilahi
Setiap agama mempunyai konsep tentang Tuhan atau dewa. Konsep itu pada umumnya berbeda dengan agama yang lain. Keunikan pemahaman setiap agama merupakan penghayatan atas perjumpaan dengan Allah yang ilahi. Penghayatan tentang hakekat Yang Ilahi melahirkan sejumlah hukum dan ketentuan. Ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum menjadi sumber seluruh pengajaran agama yang bersangkutan.
Agama suku merupakan agama yang bercorak deisme (deisme berasal dalam bahasa Latin yaitu deus yang berarti Tuhan) sekaligus bercorak teistis (theos, bahasa Yunani, yang artinya Tuhan). Dalam paham yang bercorak deisme dipercaya bahwa Tuhan yang adalah pencipta segala sesuatu yang di alam semesta tetapi jauh dari manusia. Sesudah menciptakan segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini, maka Ia mengundurkan diri. Ia tidak campur tangan dalam urusan duniawi. Tuhan atau dewa demikian tidak mungkin diketahui hakekatnya. Karena itu tabu untuk menyebut namanya. Segala sesuatu yang terjadi dalam alam semesta ini diurus oleh dewa-dewa yang lebih rendah. Dewa-dewa itu mempunyai fungsi dan tugas masing-masing. Para dewa yang "menjadi pelaksana tugas" itulah yang disembah oleh manusia. Atau paling tidak melalui dewa-dewa "bawahan" itulah manusia menyembah dewa yang tertinggi. Contoh konkret tentang paham ini adalah dalam agama Marapu di Sumba. Marapu adalah nenek moyang yang telah menjadi semacam dewa. Melalui Marapu manusia menyembah kepada Tuhan (dewa tertinggi) sebab Ia tidak terhampiri dan tabu menyebut namanya.
Penganut agama suku menghayati adanya yang ilahi melalui pengalaman sehari-hari. Mereka memahami bahwa ada kuasa yang berada di luar kekuasaan mereka. Kuasa itu melampaui kuasa dan kemampuan manusia. Itulah yang disapa sebagai Yang Ilahi. Yang Ilahi itu memberikan perlindungan kepada manusia dalam hidupnya. Karena itu, manusia menyapanya baik pada saat berada dalam keadaan bersukacita maupun pada saat berdukacita. Manusia menyapa Yang Ilahi dengan maksud memohon perlindungan dari berbagai ancaman. Itulah sikap mereka yang menggambarkan pemahaman tentang rasa ketuhanan.
Paham yang kedua adalah paham teistis. Dalam paham teistis diyakini bahwa Tuhan adalah asal mula dan pemilik alam semesta. Tuhan atau dewa yang menciptakan dan memiliki alam semesta tetap terlibat dalam mengurus dan membimbing alam semesta ini dengan segala isinya. Ia tidak berdiam diri di tempat kediamannya yang tak terjangkau manusia. Ia tetap aktif mengurus ciptannya. Dalam paham ini memang masih dikenal dewa-dewa tetapi dewa-dewa tersebut hanya mengurusi hal-hal yang sangat terbatas dan pada umumnya di bawah kekuasaan dewa yang tertinggi. Paham ini sangat berbeda dengan paham deisme.
B. Ritus-ritus dalam Agama Suku
Ibadah adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselarasan hidup, baik terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun terhadap alam semesta. Dalam bahasa Ibrani dipakai kata avoda dan latreia dalam bahasa Yunani. Kata avoda dan latreia sering diterjemahkan pelayanan dalam bahasa Indonesia. Kedua kata itu pada mulanya dipakai untuk menyatakan pekerjaan seorang budak atau hamba upahan kepada tuannya. Tetapi kemudian dipakai dalam dunia keagamaan yang mempunyai makna pelayanan dan penyembahan kepada Allah.
Pemahaman dan pemakaian secara praktis tentang ibadah berarti perjumpaan dengan yang Ilahi yaitu Tuhan atau dewa. Yang Ilahi bertindak baik berupa perintah maupun berupa tuntuntan dan larangan dan manusia atau umat memberikan respons. Respons umat atau manusia terwujud melalui kata-kata, gerakan tubuh tetapi juga melalui pemberian sesuatu benda atau materi yang lainnya.
Ritus-ritus atau ibadah yang dilakukan, mula-mula bertumbuh pada taraf pemikiran kepercayaan dinamisme. Ritus-ritus atau upacara-upacara merupakan ungkapan keyakinan yang dapat diraba atau diindra oleh manusia. Cara pengungkapan keyakinan yang demikian sebenarnya umumnya terjadi dalam masyarakat yang lebih dipengaruhi oleh perasaan daripada pemikiran. Karena itu, semakin "primitif" manusia, maka semakin dominan dalam mengungkapkan keyakinannya lewat ritus-ritus atau upacara-upacara. Walaupun ritus-ritus atau upacara-upacara merupakan cara pengungkapan keyakinan manusia pada taraf pemikiran kepercayaan dinamisme tetapi ternyata aspek ritus-ritus masih tetap dipertahankan pada taraf kepercayaan berikutnya. Ritus-ritus atau upacara-upacara tersebut dilakukan dalam banyak aspek kehidupan manusia. Ada ritus-ritus yang dilaksanakan pada saat seseorang mengalami kesusahan, tetapi ada juga yang dilaksanakan pada saat manusia mengalami suatu kesukaan atau kegembiraan.
Ibadah atau ritus yang dilakukan pada umumnya dimaksudkan untuk memulihkan tata alam semesta dan menempatkan manusia dan perbuatannya dalam tata alam semesta tersebut. Semua yang ada dalam alam semesta ini harus berada dalam posisi dan fungsinya secara baik sebagaimana ia diciptakan. Pada saat terjadi pergeseran, maka pada saat itu akan terjadi disharmoni. Disharmoni itu nampak melalui bencana alam seperti longsor, banjir, dan lain sebagainya. Pada saat terjadi disharmoni, maka harus dicari akar penyebabnya. Orang yang melanggar tata alam semesta yang menyebabkan munculnya disharmoni harus dihukum. Dalam agama suku penegakan terhadap peraturan ini sangatlah ketat. Tiap pelanggaran harus dihukum. Selain penghukuman terhadap yang melanggar, juga harus dilakukan ibadah untuk mengembalikan tata alam semesta itu. Biaya yang diperlukan dalam ibadah tersebut sepenuhnya ditanggung oleh yang bersalah, kecuali ia sama sekali tidak mampu maka biayanya akan ditanggung oleh adat. Ibadah itu ditujukan kepada penguasa alam semesta.
Selain untuk memelihara tata kehidupan alam semesta ini, ibadah juga dimaksudkan untuk meminta berkat kepada yang ilahi. Ibadah demikian biasanya dilakukan pada saat memulai suatu pekerjaan atau pada upacara-upacara kelahiran dan inisiasi. Upacara yang dilakukan pada saat kelahiran anak menegaskan sifat sakral dari hidup fisiologis. Setiap suku mempunyai ritus-ritus tersendiri dalam menyambut kelahiran seorang bayi. Misalnya placenta harus ditanam dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Pemberian nama juga merupakan bagian dari ritus-ritus kelahiran tersebut. Seseorang yang mencapai usia tertentu harus diupacarakan untuk beralih dari taraf kanak-kanak ke taraf yang lebih dewasa. Upacara peralihan ini yang disebut inisiasi. Ritus ini dilakukan sesuai perkembangan budi dan badan seseorang sebagai tanda untuk dapat mengatasi batas-batas hidup lama dengan hidup yang baru. Perkembangan badan dan budi ditingkatkan atau dikokohkan dengan ritus tertentu. Ritus ini intinya adalah pendewasaan seseorang.
Ibadah juga dimaksudkan untuk menolak bala atau memohon perlindungan dari Yang Ilahi. Dalam ibadah (ritus) kematian, ritus-ritus dilakukan dengan maksud untuk memutuskan hubungan dengan dunia kematian dan sekaligus mengantar arwah orang mati ke tempat kekal supaya arwahnya tidak mengganggu keluarga. Hal ini terjadi sebab umumnya suku-suku memahami bahwa kematian terjadi karena serangan kuasa-kuasa jahat terhadap orang yang meninggal itu.
B. Agama Suku di Indonesia
Jika budaya Indonesia diteliti, maka akan ditemukan lima lapisa budaya. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Islam dan Kristen. Namun yang akan dibahas dalam paper ini ialah menyangkut agama di luar agama Kristen saja.
Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti Sombaon di Tanah Batak, Marapu di Sumba, Karingan di Kalimantan, Puang Matua di Toraja, Pue Mpalaburu dalam suku Pamona, Sangja dalam suku Tolaki, dan lain-lain. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran. Maka dari agama pribumi bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluarga yang sangat luhur. Inilah yang dijadikan sebagai aset oleh negara. Lapisan ke dua adalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar dapat bersatu dengan Brahman. Maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.
Lapisan ke tiga adalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisan ke empat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu, kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.
Untuk agama lapisan ke empat ini sering tidak digolongkan sebagai salah satu agama suku. Namun sesungguhnya dalam berbagai realitas kehidupan mereka banyak bercorak ritual budaya. Hal ini juga terkadang terjadi dalam kehidupan yang menganut agama Kristen. Mereka masih percaya dengan roh-roh leluhur dan hidup bergantung padanya. Mereka menganut salah satu agama formal negara, tetapi pada hakekatnya mereka masih terikat oleh agama sukunya.
Berikut ini adalah beberapa daerah yang agama sukunya masih dibudidayakan, baik oleh pemerintah maupun penduduk setempat.
Agama suku di Indonesia Timur
Bagian Indonesia Timur adalah suatu kawasan perbatasan dan kawasan perpindahan antara Indonesia dan Melanesia. Unsur-unsur kebudayaan yang berasal dari bermacam-macam tingkatan masih dapat bertahan hingga sekarang. Salah satu daerah yang akan dibicarakan ialah agama suku di Sumba.Suku Sumba mempercayai bahwa orang yang telah meninggal, jiwanya akan tinggal di Tanjung Sasar dan Pegunungan Masu. Selain itu, setiap daerah memiliki tempat arwah yang pertama-tama dituju oleh arwah orang yang sudah mati. Baru sesudah itu para arwah meneruskan perjalanan mereka mengunjungi beberapa tempat arwah. Pada akhirnya mereka berkumpul di Sasar. Di sana mereka mengalami kematian lagi. Sesudah dibangkitkan, mereka masuk ke langit atau awang-awang, tempat mereka mengalami kematian yang terakhir. Bagi awrah orang yang gugur di dalam perang tidak pergi ke tempat arwah, tetapi langsung menuju ke langit, tempat mereka menjadi bintang. Mereka akan sangat berpengaruh bagi pihak keluarganya yang masih hidup. Mereka harus dipuja dalam berbagai kesempatan. Kepada mereka dipersembahkan sesajian di rumah.
Disamping mempercayai akan adanya tokoh dewa-dewa, kebanyakan suku-suku di Indonesia Timur masih percaya akan arwah nenek moyang, yang dalam praktek hidup sehari-hari juatru sangat penting artinya.
Agama suku di Sulawesi
Sulawesi didiami banyak suku yang memiliki agama yang berbeda-beda. Sulawesi juga adalah perbatasan antara Indonesia Timur dan Indonesia Barat, serta merupakan tempat percampuran budaya dan agama. Dan yang akan dibicarakan ialah agama suku Toraja.Suku Toraja mempercayai bahwa jiwa orang yang baru saja mati disebut angga. Jiwa ini ditakuti. Orang lebih suka tidak berhubungan dengan jiwa semacam itu, sebab bertemu dengan angga berarti mati. Sekalipun demikian, angga dipuja juga, dengan harapan tidak akn mengganggu yang hidup. Pada waktu ada pesta, orang senantiasa mengingat mereka. Kepada mereka dipersembahkan sajian, umpamanya pada waktu panen. Adapun pesta kematian yang menjadi tradisi suku Toraja. Tujuan diadakannya pesta ini ialah untuk memindahkan arwah sang wafat dari tempat peristirahatan sementara, yaitu di Torate, yang ada di bawah bumi, ke alam atas (surga), yang dipandang sebagai gunung atau sebagai banyak gunung yang tinggi (wawomabarosi).
Agama suku di Indonesia Barat.
» Agama suku di Kalimantan
Menurut keyakinan suku Dayak Ngaju mengenal dua macam jiwa, yaitu hambaruan dan liau. Hambaruan adalah jiwa yang menggerakkan tubuh, baik tubuh manusia maupun tubuh binatang. Jika orang telah meninggal, hambaruan kembli kepada Mahatala (dewa tertinggi) sebagai napas. Hambaruan berasal dari Mahatala dan akan kembali kepadanya. Sedangkan liau pada dasarnya tidak lain dari sang wafat sendiri, artinya liau adalah bentuk eksistensi manusia yang dimulai dengan kematiannya dan yang sangat berbeda dengan bentuk eksistensinya yang semula.
Bagi orang yang telah meninggal diadakan dua macam penguburan, yaitu upacara kematian biasa (ritus penguburan) dan pesta kematian yang disebut tiwah. Upacara kematian biasa dimaksudkan untuk memimpin liau ke tempat peristirahatan sementara, yaitu di Bukit Pasahan Raung. Pejalanan liau menuju bukit itu disebut di dalam nyanyian para imam. Para liau menunggu hingga diadakan upacara yang kedua, yaitu tiwah. Tiwah ini tidak boleh diabaikan, karena pengabaian tiwah akan menimbulkan liau bertahan di bukit, dan dapat mendatangkan bencana kepada keluarga yang masih hidup.
» Agama suku di Tapanuli
Seperti halnya dengan suku Ngaju, suku Batak juga mengenal dua macam jiwa, yang disebut tondi dan begu. Tondi hamper sama dengan hambaruan dari suku Ngaju. Tetapi tondi lebih tampil ke depan di dalam hidup agama suku Batak Toba. Tondi seolah-oleh merupakan manusia di dalam manusia, namun tidak identik dengan “aku” manusia, bahkan sering bertentangan dengan “aku” manusia. Sesudah seseorang meninggal, tondinya meninggalkan manusia, kembali ke asalnya untuk memulai hidup yang baru. Orang itu akan menjadi legu. Dan seperti halnya dengan liau, begu kurang lebih merupakan bentuk eksistensi manusia yang baru. Berbeda dari liau, begu tidak memiliki bentuk penampakan lebih dari satu. Begu itu sangat ditakuti, sebab suka mengejar-ngejar tondi orang yang masih hidup, yang dapat menjadikan orang itu mati. Oleh sebab itu, kebahagiaan begu tergantung pada pemujaan para keturunannya yang masih hidup. Kedudukan begu dapat dinaikkan jika keturunannya memujanya dengan baik. Mereka dapat naik tingkat menjadi sumangot.
» Agama suku di Nias
Seorang tokoh penting di dalam alam kedewaan Nias adalah Silewe Nazarata, seorang dewi yang dihubungakan dengan imamat di Nias. Dewi ini dianggap sebagai penyebab penjadian dunia sebenarnya. Silewe Nazarata juga dipandang berada di manna-mana. Ia adalah penolong manusia, dan sering dapat melakukan hal-hal yang mencelakakan. Oleh karenanya Silewa juga sangat dtakuti. Ia memiliki lambang-lambang dan nama tambahan yang sangat banyak. Sering ia dihubungkan dengan alam atas dan dengan Lowalangi, tetapi juga dengan alam bawah dan Lature Dano. Sekalipun dipandang sebagai seorang dewi, ia memiliki juga bentuk-bentuk penampakan yang menunjukkan sifat-sifat laki-laki. Agaknya sifat amabivalen yang kosmis ini (lambang alam atas dan alam bawah) disebabkan ambivalen seksual.
Peperangan dan sifat ambivalen itu dipersatukan secara harmonis di dalam diri Silewa Nazarata. Ia menguasai hidup dan mati, terang dan gelap. Ia memerintah atas segala kekuatan alam, bahan ia adalah alam itu sendiri, yang dengan perantaraan perputaran kekal abadi (hidup-mati-hidup lagi) dapat membentuk dan mengubah segala sesuatu.
BAB III Kesimpulan
Ibadah dalam agama suku dilakukan sebagai upaya untuk memelihara tertib alam semesta. Manusia dan segala mahluk dalam alam semesta ini adalah satu kesatuan yang mempunyai fungsi masing-masing. Semuanya harus berjalan sesuai dengan fungsinya supaya tata tertib alam berjalan dengan harmonis. Namun ibadah juga dimaksudkan untuk mempengaruhi Yang Ilahi supaya memberikan perlindungan dari ancaman malapetaka dan sekaligus memohon berkat dalam sepanjang perjalanan kehidupan di dunia ini.Agama suku menganggap bahwa segala sesuatu di sekitarnya seolah-olah hidup sebagai pribadi yang harus diperhitungkan juga di dalam segala perbuatan dan tingkah laku orang, maka dapat dimengeti jika dunia sekitar manusia juga dipandang penuh dengan kekuatan gaib, yang dapat berada pada manusia maupun pada binatang dan tumbuh-tumbuhan, bahkan juga gagasan bahkan kekuatan gaib itu dapat dimanfaatkan oleh manusia. Barang siapa dapat menguasai kekuatan itu ia akan menguasai dunia di sekitarnya. Inilah pandangan yang disebut magis. Upacara-upacara religius sering penuh dengan usaha untuk mendapatkan kekuatan gaib, seperti pesta-pesta kesuburan, pesta kematian, dan sebagainya.
Oleh karena tidak ada jarak antara manusia dan apa yang ada di sekitarnya, maka di dalam pandangan suku sebenarnya juga tidak ada jarak antara zaman sekarang dan zaman yang akan datang. Hal ini diungkapkan dalam pandangan suku yang disebut mitis.
Tidak dapat disangkal bahwa antara agama suku dan agama Kristen ada tidak temu, sekalipun hanya dalam arti formal. Sebab keduanya memiliki keyakinan akan adanya tokoh-tokon ilahi dan manusia sebagai hasil karyanya. Akan tetapi, juga tidak dapat disangkal bahwa keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Salah satu perbedaan yang tampak ialah di dalam upacara-upacara agama suku , manusia ingin menguasai kekuatan ilahi, yang dipandang sebagai kekuatan yang tak berpribadi. Religi adalah persoalan untung-rugi. Bagi mereka pengertian religi menjadi suatu alat untuk berkuasa, bukan untuk mengabdi; alat untuk memerintah, bukan untuk menakhlukkan diri. Hal demikian sangat berbeda dengan kebaktian secara Kristen, adil, yang kudus, dan sebagainya, yang tidak membiarkan orang berdosa bersekutu dengan Dia.
Sudah barang tentu orang Kristen juga dapat berbakti kepada Allah dengan cara yang keliru, seperti yang dilakukan oleh penganut agama suku. Orang dapat memperlakukan Allah sebagai budaknya, yang harus melayani manusia. Doanya, amal-amalnya, dipandang sebagai alat untuk mendapatkan apa yang diinginkan dari Tuhan. Akan tetapi, cara yang demikian itu dihakimi oleh Alkitab.
Daftar Pustaka
Andito, 1998. Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik. Jakarta. Pustaka Hidaya
Hadiwijono, Harun. 2000. Religi Suku Murba. Jakarta. BPK Gunung Mulia
Http: //www.google.agama suku.com